Jumat, 10 Juni 2011


 
IMPLEMANTASI SISTEM PEMERINTAHAN DI INONESIA
 PADA ERA REFORMASI SESUDAH AMANDEMEN
 UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sitem Pemerintahan
Dosen pengampu : Drs. Yulianto Bambang S.M.Si
Oleh :

 Isnianto        A.220090041


PRODI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2011






IMPLEMANTASI SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA
PADA ERA REFORMASI SESUDAH AMANDEMEN
UNDANG-UNDANG DASAR 1945

A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Reformasi Mei 1998 telah membawa berbagai perubahan mendasar dalam kehidupan bernegara dan berbanga Indonesia.Pertama sejak jatuhnya Soeharto, kita tidak lagi memiliki seorang pemimpin sentral dan menentukan. Munculnya pusat-pusat kekuasaan baru diluar Negara telah menggeser kedudukan seorang presiden RI dari penguasa yang higemonik dan monopolistik menjadi kepala pemerintahan biasa, yang sewaktu-waktu dapat digugat bahkan diturunkan dalam kekuasaanya. Kedua , munculnya kehidupan politik yang lebih liberal yang melahirkan proses politik yang juga liberal. Ketiga, reformasi politik juga telah mempercepat pencerahan politik rayat. Semangat keterbukaan yang di bawanya telah memperlihatkan kepada publik betapa tingginya tingkat distorsi dari proses penyelenggaraan Negara. Keempat , pada tataran lembaga tinggi Negara, kesadaran untuk memperkuat proses check and balances antara cabang-cabang kekuasaan telah berkembang sedemikian rupa bahkan melampaui konvensi yang selama ini dipegang “asas kekeluargaan”  didalam penyelenggaraan. Kelima, reformasi politik telah mempertebal keinginan sebagian elite pengaruh dan publik ploitik Indonesia untuk secara sistematik dan damai melakukan perubahan secara mendasar dalam konsititusi RI.
2.      Rumusan Masalah
a.       Bagaimana latar belakang sistem pemerintahan di Indonesia pada era reformasi sesudah amandemen UUD 1945?
b.      Bagaimana implemantasi sistem pemerintahan di Indonesia pada era reformasi sesudah amandemen UUD 1945 ?


B.     LATAR BELAKANG LAHIRNYA ORDE REFORMASI
 Politik Indonesia akhir abad ke-20 ditandai oleh suatu perubahan politik luar biasa, yaitu jatuhnya soeharto secara dramatis pada tanggal 21 Mei 1998 melalui gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa, didukung intelektual kampus, dan LSM yang memperoleh dukungan luas dari public di Indonesia. Tidak satupun orang pada waktu itu yang berani membayangkan bahwa Soeharto akan jatuh dari kekuasaanya secara dramatis seperti itu. Selama presiden Soeharto memegang tampuk kekuasaan pemerintahan Negara dengan akumulasi lebih kurang 32 tahun ,sisitem pemerintahan Indonesia berwajah supremasi eksekutif. Wajah seperti ini tampak jelas dari kekuasaan presiden yang merambah tiga cabang kekuasaan lain bahkan secara politis cabang-cabang kekuasaan Negara seperti MPR dan DPR telah terkooptasi oleh kepentingan dan kehendak presiden. Wajah supremasi eksekutif ini mengakibatkan fenomena politik ketatanegaraan Indonesia bercorak otoritarianisme. Kondisi semacam inilah yang menyebabkan akuntabilitas penyelenggaran pemerintahan Negara menjadi lemah, sehingga mengakibatkan control terhadap pelaksanaan pemerintahan menjadi tidak berjalan. Bahkan terjadi  penyelewengan tehadap UUD 1945, UUD 1945 tidak boleh disentuh  oleh siapapun, istilah yang popular “diskralkan” dengan berbagai ancaman dan stgma subvertif yanag dituduhkan bagi yang akan menyantuhnya dan hannya pemerintah orde baru (seoharto) yang boleh menafsirkan makna yang tekandung dalam UUD 1945, sementara MPR tinggal megesahkan saja. Contoh yang paling menonjol adalah tafsir terhadap pasal 6 dan 7 UUD 1945 sebelum amandemen. Pemilihan presiden dan wakil presiden yang dilakukan majelis dengan suara terbanyak, direduksi menjadi presiden dan wakil presiden dipilih msjelis denga suara mufakat, dan calonya harus tunggal. Jadi tidak ada pemungutan suara (voting). Disamping itu tidak ada pembatasan masa jabatan bagi presiden dan wakil presiden, asal masih dipilih oleh MPR beberapa kali pun tidak masalah. Hasilnya, soeharto berhasil menduduki kursi presiden selama kurang lebih 32 tahun, sementara wakil presidanya selalu berganti.
Sejak terjadinya reformasi, UUD 1945 yang “disakralkan” mengalami deskralisasi, gagasn perubahan UUD 1945 menjadi tuntutan yang tidakbisa dielakkan lagi. Mengapa UUD 1945 harus dilakukan perubahan?  Secara yuridis, para perumus UUD 1945 sudah menunjukan kearifan bahwa apa yang mereka lakukan ketika UUD 1945 disusun tentu akan berbeda kondisinya dimasa yang akan dating dan mungkinsuatu saat akan mengalami perubahan. Baik dilihaat dari sejarah maupun sebagi produk hukum yang mencerminkan pikiran dan kepentingan yanag ada pada saat itu, UUD akan aus dimakan masa apabila tidak diadakan pembaharuan sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernagara dibidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.
C.    IMPLEMANTASI SISTEM PEMARINTAHAN DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI SESUDAH AMANDEMEN UUD 1945
1.      Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Setelah Amandeman
UUD 1945 tidak menyebut secara tersurat (eksplisit) mengenai Sistem Pemerintahan sebagaimana Klasifikasi Ilmu terkait. Untuk menyimpulkan Sistem Pemeintahan Indonesia, perlu melihat ciri-ciri sistem pemerintahan yang banyak dianut (Presidensiil dan Parlementer ). Ciri-ciri itu kemudian dikaji mana yang dominan dalam UUD 1945.
a.       Ciri-ciri Sistem Parlementer
1.      Raja/Ratu/Prsiden sebagai Kepala Negara.
2.      Kekuasaan ekekutif dipegang dan dijalankan Kabinet yang dipimpin Perdana Menteri.
3.      Kepala eksekutif (Perdana Menteri) bertanggungjawab kepada Parlemen (Legislatif).
4.      PARPOL mayoritas memegang kekuasaan eksekutif.
5.      Menganut sistem Multi Partai
b.      Ciri-ciri Sistem Presidensiil
1.      Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus pemegang Kekuasaan Eksekutif.
2.      Kedudukan eksekutif tidak tergantung pada Parlemen.
3.      Menteri-menteri merupakan pembantu Presiden.
4.      Kekuasaan membuat Undang-Undang ada di tangan Parlemen. Presiden memiliki hak veto dalam pemberlakuan suatu Undang-Undang.
v  Prinsip-prinsip Sistem Pemerintahan dalam UUD UUD 1945.
1)      Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (Pasal 4 ayat 1) >> Ciri Presidensiil.
2)      Menteri-menteri sebagai Pembantu Presiden (Pasal 17) >> Ciri Presidensiil.
3)      Kekuasaan pembentuk UU ada di tangan DPR dengan persetujuan Presiden (Pasal 20 ayat 1 dan 2) >> Ciri Presidensiil.
4)      Kedudukan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan tidak tergantung Parlemen (Pasal 6A ayat 1-5) >> Ciri Presidesiil
Berdasarkan prinsip-prinsip Sistem Pemerintahan yang diatur dalam UUD 1945 pasal 4 ayat 1, 17, 20 ayat 1, dan 2, serta pasal 6A ayat 1-5 adalah merupakan Ciri-ciri Sistem Presidensiil. Dengan demikian meski tidak disebut secara tersurat maka Sistem Pemerintahan Indonesia adalah Presidensiil. Namun dalam kenyataanya masih ada beberapa hal yang belum konsisten dilaksanakan sesuai dengan sistem pemerintahan presidensiil atau masih mengandung dimensi sistem parlementer. Misalnya, Pada saat presiden membentuk kebinet, presiden masih mempergunakan mekanisme politik di luar parlemen dengan melakukan kesepakatan-kesepakatan dengan pimpinan partai politik yang memperoleh suara cukup signifikan di DPR. Padahal seharusnya penentuan cabinet dan meteri itu merupakan hak preogratif presiden, dan hak ini harus diimbangi adanya persetujuan parlemen.


2.      Sistem Kelembagaan Negara Manurut UUD 1945 Setelah Amandemen
Dalam hukum ketatanegaran Indonesia menurut UUD 1945, Indonesia menganut beberapa asas antara lain adalah asas pembagian kekuasaan dan Check and Balances.
a.       Asas pembagian kekuasaan, artinya Kekuasaan dalam Negara Dibagi-bagi, Tidak Dipisah-pisah dalam Arti Ada Kerjasama Antar Masing-masing Organ Negara. Berdasarkan asas di atas maka Pembagian kelembagaan negara Indonesia sebagai berikut :
Ø  EKSEKUTIF  : Presiden, Bank Sentral, BPK, KPU, dan Dewan Pertimbangan.
Ø  LEGISLATIF             : MPR, DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Ø  YUDKATIF   : Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi, dan komisi Yudisial (KY).
Menurut ketentuan UUD Negara republik Indonesia Tahun 1945 pasca perubahan keempat, dalam struktur kelembagaan republic Indonesia terdapat delapan buah organ Negara yang mempunyai kedudukan sederajat yang secaara langsung menerima kewenangan konstitusional dari UUD 1945. kedelapan organ tersebur adalah : (1) Dewan Perwakila Rakyat; (2) Dewan Perwakilan Daearah; (3) Majelis Permusyawaratan Rakyat; (4) Badan Pemeriksa Keuangan; (5) Presiden Dan Wakil Presiden; (6) Makamah Agung; (7) Makamah Konstitusi; (8) Komisi Yudisial. Disamping kedelapan lembaga tersebut, terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang diatur kewenagannya dalam UUD 1945, yaitu: (1) Tentara Nasional Indonesia; (2) Kepolisian Negara Republic Indonesia; (3) Pemerintah Daerah. Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya, namun kewananganya diatur dengan undang-undang , yaitu : bank sentral yang tidak disebut namanya “Bank Indonesia”, komisi pemilihan umum yang juga bukan nama karena ditulis dengan huruf kecil, Komisi Nasional Hak Asai Manusia, Komisi Pemberantsan Korupsi, dsb. merupakan lembaga-lembaga independen yang mendapatkan kewananganya dari Undang-Undang.
b.      Asas Check And Balances ( Parimbangan Kekuasaan), artinya kekuasaan untuk saling mengawasi dan mengendalikan antara cabang-cabang pemerintahan (lembaga negara) guna mencegah penyalagunaan kekuasaan agar tidak melampaui wewenangnya.
3.      Hubungan Antar Lembaga Negara
Dalam ketatanegaraan Indonesia menganut asas chek and balances, dimana ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan pinsip check and balances, maka kekuasaan Negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara Negara ataupun pribadi-pribadi yang keetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga Negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.
Hubungan antara Lembaga eksekutif, legislatif,dan yudikatif yang diatur dalam UUD 1945 antara lain:
a.       Hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif, terdapat dalam UUD 1945 pasal 3 ayat 2 dan 4 yang berbunyi (2) Majelis permusyawaratan rakyat dilantik presiden dan /atau wakil presiden. (3) Majelis permusyawaratan rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan / atau wakil presiden dalam masa jabatanya menurut Undang-Undang Dasar. Pasal 5 ayat (1) Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 7 A Presiden dan /atau wakil presiden diberhentikan dalam masa jabatan,  oleh Majelis Permusyawaratan Raktyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negara,korupsi,penyuapan,tindak pidana berat lainya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan /atau wakil presiden. Pasal 7 C Presiden tidak dapat membekukan dan /atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 8 ayat2 Dalam hal terjadi kekosongan wakil presiden selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan siding untuk memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. Pasal 9 ayat1 Sebelum memangku jabatanya. Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 ayat 1dan2, (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Ayat(2) Presiden dalam  membuat perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan /atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 13 ayat 2dan3, ayat (2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Ayat (3) Presiden menerima penempatan duta Negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 14 ayat (2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan  pertimbanga  Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 20 ayat 2 dan 4, ayat(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama ayat (4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah di setujui bersama untuk menjadi undang-undang. Pasal 21 ayat (2) Jika rancangan itu,meskipun disetujui oleh Dewan Pderwakilan Rakyat di syahkan oleh Presiden maka rancangan tadi tidak boleh di majukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat pada masa itu. Pasal 22 ayat (1) Dalam hal ikhwal kepen tingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Ayat (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Ayat (3) Jika tidak mendapat persetujuan maka peraturan Pemerintah itu harus dicabut. Pasal 23 ayat 2 dan 3, ayat(2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja Negara di ajukan oleh Presiden untuk di bahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. Ayat (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, pemerintah menjalankan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun yang lalu. Pasal 23E ayat(2) Hasil pemeriksaan keuangan Negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.
b.      Hubungan antara lembaga Eksekutif & Yudikatif, terdapat pada UUD 1945 Pasal 14 ayat (1) preiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memprhatikan pertimbangan makamah agung.
c.       Hubungan antara lembaga yudikatif dan legislative terdapat pada UUD 1945 pasal 7B ayat (1) usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dapat diajukan oleh dewan perwakiln rakyat.




LEMBAGA-LEMBAGA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA



4.      Efektivitas Pelaksanaan Pemerintahan
Banyak pernyataan yang disampaikan oleh akademisi, anggota parlemen, dan pengamat politik bahwa pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yodoyono dinilai kurang atau tidak efektif dalam mengimplementasikan program-program yang dihasilkan di tengah-tengah masyarakat. Banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak efektifnya pemerintahan SBY disebabkan karena hubungan antara lembaga kepresidenan dan lembaga parlemen tidak baik. Tidak sedikit program-program pemerintah yang harus mendapatkan persetujuan dari parlemen mendapatkan resistensi dari DPR, bahkan ditolak oleh DPR. Dengan demikian program atau rencana kerja pemerintah tidak dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya.
Problem efektivitas pemerintah yang dialami oleh Indonesia saat ini juga banyak dialami negara-negara lain yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Mainwaring (2008) berpendapat bahwa hanya empat negara penganut sistem presidensial yang berhasil dalam menciptakan pemerintah yang efektif dan stabil. Keempat negara tersebut adalah Amerika Serikat, Costa Rica, Columbia, dan Venezuela. Sebaliknya, mayoritas negara-negara yang menganut sistem parlementer dinilai sukses dalam hal menjaga stabilitas dan efektifitas pemerintahan. Beberapa negara tersebut antara lain; Australia, Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Jerman, Irlandia, Belanda, Inggris, Selandia Baru, Italia, dan sebagainya. 
Pertanyaan berikutnya adalah mengapa kombinasi antara sistem presidensial dan sistem multi partai yang dipraktekkan di Indonesia tidak mendorong terjadinya pemerintahan yang efektif dan stabil. Sistem pemerintahan memiliki korelasi langsung terhadap efektivitas pemerintahan, karena terdapat bukti kalau kedua sistem pemerintahan mampu menciptakan pemerintahan yang efektif.  Meskipun tidak ada hubungan yang langsung antara sistem pemerintahan dengan efektifitas pemerintah, akan tetapi ada beberapa hal di dalam sistem presidensialime yang mempengaruhi efektivitas pemerintah. Dari segi menjaga stabilitas politik dan pemerintahan, Indonesia memiliki pengalaman yang berharga dan mampu menjawab bahwa sistem presidensial ternyata mampu menghasilkan stabilitas politik dan pemerintahan yang lebih baik jika dibandingkan dengan sistem parlemen. Pelaksanaan demokrasi parlemen pada tahun 1950an ternyata dinilai gagal di dalam menciptakan stabilitas pemerintah dan politik yang akhirnya dinilai gagal menyejahterakan rakyat Indonesia.
Salah satu alasan Amerika dengan sistem presidensial mampu menghasilkan pemerintah yang efektif karena ditopang oleh sistem dwi-partai. Sedangkan Indonesia mempraktekan sistem presidensial dan sistem multi partai.
Ada beberapa alasan mengapa sistem presidensial dan sistem multi partai kurang berhasil di dalam menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil dibandingkan dengan sistem parlementer yang dikombinasikan dengan sistem dua partai. Menurut Mainawrring (2008) terdapat beberapa alasan/kelemahan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multi partai.
Pertama, karena pemilihan presiden dan parlemen diselenggarakan secara terpisah maka kemungkinan presiden yang terpilih adalah presiden yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Hal ini terjadi di Indonesia, Presiden SBY berasal dari partai politik yang memiliki suara dan kursi yang kecil, P.Demokrat mendapatkan suara 7,45%. Padahal di dalam sistem presidensial dukungan parlemen kepada presiden sangat berpengaruh di dalam proses pembuatan undang-undang dan pelaksanaan kebijakan dan program – program pemerintah. Semakin besar dukungan parlemen kepada presiden maka implementasi kebijakan publik oleh pemerintah akan semakin efektif. Sebaliknya semakin kecil dukungan parlemen maka efektifitas pemerintah di dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan akan semakin berkurang.
Kedua, personal presiden – termasuk kepribadian dan kapasitas– merupakan salah satu faktor yang penting. Di dalam sebuah situasi yang sulit seperti keadaan krisis ekonomi saat ini presiden dihadapkan pada pekerjaan yang sangat banyak dan rumit. Oleh karena itu presiden juga dituntut memiliki kapasitas yang baik untuk menangani berbagai permasalahan yang sedang dihadapi. Selain dituntut untuk memiliki kapasitas dalam menangani permasalahan bangsa, karena presiden membutuhkan support/dukungan dari parlemen maka presiden juga dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi dan lobby yang baik dengan parlemen. salah satu faktor kurang efektifnya pemerintahan SBY saat ini oleh beberapa kalangan dinilai disebabkan kelemahan SBY di dalam mengelola dukungan dari koalisi partai politik yang mendukung pemerintah dan lemahnya/ketidakmampuan presiden melakukan komunikasi dan lobby politik dengan parlemen.
Ketiga, di dalam sebuah sistem presidensial dan multi partai membangun koalisi partai politik untuk memenangkan pemilu adalah hal yang sangat wajar dan umum terjadi. Koalisi partai politik terjadi karena untuk mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen merupakan sesuatu yang sangat sulit. Namun masalahnya adalah koalisi yang dibangun di dalam sistem presidensial – khususnya di Indonesia – tidak bersifat mengikat dan permanen. Partai politik yang tergabung di dalam sebuah koalisi mendukung pemerintah bisa saja menarik dukungannya. Contohnya adalah PAN sebagai partai pendukung SBY tiba-tiba menarik dukungannya ditengah perjalanan. Tidak adanya jaminan bahwa koalisi terikat untuk mendukung pemerintah sampai dengan berakhirnya masa kerja presiden. Partai-partai politik yang tergabung di dalam koalisi cenderung mengambil keuntungan dari pemerintah. Jika kebijakan atau program yang diambil oleh pemerintah tidak populer partai politik cenderung melakukan oposisi.
Selanjutnya koalisi partai politik yang dibangun untuk mendukung calon presiden tidak mencerminkan dan menjamin dukungan semua anggota parlemen dari masing-masing partai politik yang ada di dalam koalisi kepada presiden. Partai politik tidak mampu melakukan kontrol terhadap para anggota-anggotanya di parlemen untuk selalu mendukung pemerintah. Hal yang menarik adalah tidak sedikit anggota DPR dari partai Golkar, PPP, PKB, yang memiliki wakilnya di kabinet melakukan perlawanan terhadap program-program yang akan dilakukan oleh pemerintah yang notabene harus di dukungnya.
Di dalam sistem parlementer koalisi partai politik lebih bersifat permanen dan disiplin. Koalisi partai politik dibangun atas dasar parlemen. Anggota parlemen dari koalisi partai politik pendukung pemerintah yang tidak mendukung kebijakan pemerintah akan dikeluarkan dari parlemen. Selain ancaman dikeluarkan dari keanggotan parlemen oleh partai politiknya, jika anggota tidak mendukung program-program pemerintah agar berhasil perolehan kursi partai mereka akan terancam pada pemilu berikutnya. Sehingga suksesnya pemerintah terbentuk juga mempengaruhi citra partai politik pendukungnya.
Jika koalisi parpol dalam sistem parlementer dibangun setelah pemilu, koalisi parpol dalam sistem presidensial dibangun sebelum pemilu presiden dilaksanakan. Akibatnya beberapa partai politik mendukung di dalam pencalonan akan tetapi tidak mendukung ketika calon tersebut terpilih. Hal ini disebabkan, misalnya, tidak terwakilinya partai tersebut di kabinet. Kalaupun terdapat perwakilan partai di kabinet, partai politik tersebut tidak bertanggungjawab atas kebijakan-kebijakan pemerintah.
Keempat adalah lemahya penegakan fatsoen politik politisi yang ada di eksekutif maupun parlemen. Tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat beberapa politisi di parlemen yang tidak mengindahkan etika dalam berpolitik. Beberapa anggota DPR terkesan ingin mencari popularitas di hadapan publik dengan melakukan berbagai kritikan-kritikan terhadap semua kebijakan pemerintah, tidak peduli apakah program dan kebijakan tersebut baik atau tidak bagi masyarakat. Perilaku inilah yang menyebabkan pengambilan keputusan di parlemen sulit untuk dicapai secara efektif. Sebaliknya beberapa menteri di kabinet lebih menunjukkan loyalitas kepada ketua partainya dibandingkan dengan kepada presiden. Atau bahkan para pembantu presiden tersebut lebih disibukkan dengan kegiatan konsulidasi internal partai politik dibandingkan dengan membantu presiden mengimplementasikan program-program pemerintah. Tidak bisa dipungkiri kabinet hasil koalisi ini sering terjadi conflict of interest karena pejabat partai politik yang ditunjuk sebagai menteri tidak mengundurkan diri dari jabatan di partai politik.















D.    KESIMPULAN
Sistem presidensial dan sistem multi partai yang dipraktekkan di Indonesia tidak mendorong terjadinya pemerintahan yang efektif dan stabil. Sistem pemerintahan memiliki korelasi langsung terhadap efektivitas pemerintahan, karena terdapat bukti kalau kedua sistem pemerintahan mampu menciptakan pemerintahan yang efektif.  Meskipun tidak ada hubungan yang langsung antara sistem pemerintahan dengan efektifitas pemerintah, akan tetapi ada beberapa hal di dalam sistem presidensialime yang mempengaruhi efektivitas pemerintah. Dari segi menjaga stabilitas politik dan pemerintahan, Indonesia memiliki pengalaman yang berharga dan mampu menjawab bahwa sistem presidensial ternyata mampu menghasilkan stabilitas politik dan pemerintahan yang lebih baik jika dibandingkan dengan sistem parlemen. Pelaksanaan demokrasi parlemen pada tahun 1950an ternyata dinilai gagal di dalam menciptakan stabilitas pemerintah dan politik yang akhirnya dinilai gagal menyejahterakan rakyat Indonesia.




















DAFATAR PUSTAKA

Valina singka subekti.2008. Menyusun Konstitusi Transisi ( Pergulatan kepentingan dan pemikiran dalam proses perubahan UUD 1945 ).Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Huda Ni’matul.2005.Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Heru Cipto Handoyo.2009.Hukum Tata Negara Indonesia.Yogyakarta: Universitas Atmajaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar